venezuela

Belajar dari Venezuela tentang Komoditas dan Subsidi

 

Venezuela adalah sebuah negara di benua Amerika, berbatasan dengan Colombia di barat, Brazil di Selatan dan Guyana di Timur. Luas negara Venezuela adalah sekitar 916 ribu kilometer persegi dengan jumlah penduduk sekitar 31 juta orang.

Pada saat Hugo Chaves sebagai presiden, harga minyak beranjak naik. Mencapai puncaknya sekitar tahun 2008  dimana harga minyak menembus USD 150 per barrel.  Venezuela adalah salah satu negara yang memiliki cadangan minyak terbesar di dunia.

Pada tahun 1980an dan 1990an tingkat kesehatan dan nutrisi masyarakat Venezuela sangat rendah. Chaves bertekad untuk meningkatkan tingkat kesehatan dan nutrisi. Cara yang dipilih adalah dengan menentukan harga eceran tertinggi (HET) yang menimbulkan kontoversi. Karena HET ditentukan sangat rendah bahkan di bawah biaya produksi.

Di satu sisi penentuan HET berhasil meningkatkan tingkat nutrisi. Tingkat kematian akibat mal nutrisi antara tahun 1998 sampai dengan 2006 menurun sekitar 50%. Tetapi di sisi lain penentuan HET yang terlalu rendah menyebabkan banyak industri yang tutup. Karena tidak mungkin untuk melanjutkan usaha jika dipaksa untuk menjual dengan harga di bawah harga modal.

Harga yang terlalu rendah juga menyebabkan kelangkaan barang karena selain industri yang tutup, importir juga tidak mau mengimpor barang karena harga jual di bawah harga modal. Untuk mengatasi kelangkaan ini pemerintah Venezuela menasionalisasi perusahaan makanan dan mendirikan jaringan supermarket The Mercal Network yang menjual barang dengan harga yang sangat rendah.

95% hasil eksport Venezuela berasal dari minyak. Dengan nasionalisasi perusahaan minyak asing  pada tahun 2003 dan harga minyak yang tinggi. Pemerintah Venezuela mampu untuk menjual bahan makanan dengan harga yang rendah atau dengan kata lain melakukan subsidi. Bahkan di bawah harga pembelian atau jual rugi. Akibat turunnya harga minyak bumi, saat ini Venezuela mengalami krisis ekonomi. Harga barang naik tinggi dan bahan makanan menjadi langka.

Updated : per Feb 2018 Venezuela menghadapi hyperinflasi sebesar 6147% menurut Reuters.

Harga komoditas tidak bisa dikendalikan oleh suatu negara. Turunnya harga minyak juga menyebabkan Arab Saudi untuk mengubah pola pikirnya. Terlebih lagi bila komoditas andalan suatu negara adalah komoditas tambang yang kalau sudah habis tidak bisa digantikan.

Negara dalam menggunakan uang yang diperoleh dari penjualan kekayaan alam haruslah bijaksana. Tindakan Venezuela yang menggunakannya untuk memberikan harga murah bagi rakyat tidaklah salah dan rakyat senang. Tetapi bagaimana jika terjadi penurunan harga atau habisnya tambang?

Jika pada saat harga minyak tinggi, Venezuela menggunakan penghasilan negara untuk meningkatkan penghasilan rakyat. Misalnya dengan mendirikan industri, meningkatkan hasil pertanian, pendidikan dan lainnya. Bukankah akan berbeda hasilnya?

Rakyat terbiasa dengan harga yang wajar, tetap mampu membelinya karena penghasilannya meningkat. Ekonomi tetap bergerak, walaupun akan melambat karena turunnya harga minyak.

Komoditas memang bisa menjadi penggerak ekonomi. Indonesia juga merasakannya pada era awal tahun 2000 sampai dengan 2014 yang dimana harga komoditas menurun mengikuti penurunan ekonomi dunia. Namun sangat riskan, karena naik turunnya tidak bisa dikendalikan.

Kesimpulannya penggunaan surplus pada saat harga komoditas tinggi sebaiknya digunakan untuk investasi bukannya subsidi. Investasi di infrastruktur, pendidikan, pemberdayaan masyarakat dan lainnya.  Agar rakyat bisa meningkatkan taraf hidup dan penghasilannya .

Tujuannya agar rakyat mampu membeli barang dengan harga wajar bukan hanya mampu membeli barang dengan harga subsidi

Referensi : CNN  ; BBC

Sumber gambar Businessinsider.com

Artikel ini pernah ditayangkan di Kompasiana oleh Ronald Wan

Salam

Hanya Sekadar Berbagi

Diarysaham.com

Share jika Bermanfaat

Author: Ronald Wan

@Pseudonym | Love To Read | Try To Write | Observant | email : [email protected]